WELCOME TO MY LIFE

ARTIKEL DAN SEJARAH ISLAM

Jumat, 29 April 2011

mandi wajib

“Tata Cara Mandi Wajib yang Benar” ketegori Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Saya ingin mengerti tata cara mandi wajib yang benar itu bagaimana?

WAssalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Kisworo Djati, S.Pd

Jawaban

Assalamu ‘alakum warahmatullahi wabarakatuh, Secara ringkas, yang pertama dilakukan adalah kedua tangan dicuci, kemudian mandi kepala, kemudian terus dari bagian sebelah kanan, kemudian kiri, terakhir cuci kaki.

Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut:
#

Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukkan ke wajan tempat air.
#

Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri.
#

Mencuci kemaluan dan dubur.
#

Najis-najis dibersihkan.
#

Berwudhu sebagaimana untuk shalat, dan menurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki.
#

Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah.
#

Menyiram kepala dengan 3 kali siraman.
#

Membersihkan seluruh anggota badan.
#

Mencuci kaki.

Semua hal di atas disusun berdasarkan hadits shahih yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Aisyah RA berkata, Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya.

Namun hadits ini bukan satu-satunya hadits yang menerangkan tentang sifat mandi janabah.

Rukun dan Sunnah Mandi Janabah

Lalu para ulama memilah mana yang merupakan pokok dalam mandi janabah, sehingga tidak boleh ditinggalkan, mana yang merupakan sunnah sehingga bila ditinggalkan tidak merusak sah-nya mandi janabah itu.

A. Rukun

Untuk melakukan mandi janabah, maka ada 3 hal yang harus dikerjakan karena merupakan rukun/pokok:

1. Niat. Sabda Nabi SAW: Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya.

2. Menghilangkan Najis Kalau Ada di Badan

Menghilangkan najis dari badan sesunguhnya merupakan syarat sahnya mandi janabah. Dengan demikian, bila seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya untuk memastikan tidak ada lagi najis yang masih menempel di badannya.

Caranya bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa dengan sabun atau pembersih lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis berat, maka wajib mensucikannya dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

3. Meratakan Air Hingga ke Seluruh Badan

Seluruh badan harus rata mendapatkan air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik akarnya atau pun yang terjuntai. Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus, seperti cat, lem, pewarna kuku atau pewarna rambut bila bersifat menghalangi masuknya air.

Sedangkan pacar kuku dan tato, tidak bersifat menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari masalah haramnya membuat tato.

B. Sunnah-sunnah yang Dianjurkan dalam Mandi Janabah:
#

Membaca basmalah.
#

Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air
#

Berwudhu` sebelum mandi Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW berwudku seperti wudhu` orang shalat. .
#

Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh. Hal ini untuk membersihkan seluruh anggota badan.
#

Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu’

Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu ‘alakum warahmatullahi wabarakatuh,

Kamis, 21 April 2011

Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra (Tahun 11-13 H/632-634 M)

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka`ab bin Sa`ad bin Taim bin Murrah bin Ka`ab bin Lu`ai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasy at-Taimi – radhiyallahu` anhu. Bertemu nasabnya dengan Nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Abu Bakar adalah shahabat Rasulullah – shalallahu`alaihi was salam – yang telah menemani Rasulullah sejak awal diutusnya beliau sebagai Rasul, beliau termasuk orang yang awal masuk Islam. Abu Bakar memiliki julukan “ash-Shiddiq” dan “Atiq”.
Ada yang berkata bahwa Abu Bakar dijuluki “ash-Shiddiq” karena ketika terjadi peristiwa isra` mi`raj, orang-orang mendustakan kejadian tersebut, sedangkan Abu Bakar langsung membenarkan.

Allah telah mempersaksikan persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar dalam Al-Qur`an, yaitu dalam firman-Nya : “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: `Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’.” (QS at-Taubah : 40)
`Aisyah, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Abu Bakar-lah yang mengiringi Nabi dalam gua tersebut.”
Allah juga berfirman : “Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar : 33)
Al-Imam adz-Dzahabi setelah membawakan ayat ini dalam kitabnya al-Kabaa`ir, beliau meriwayatkan bahwa Ja`far Shadiq berujar :”Tidak ada perselisihan lagi bahwa orang yang datang dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah, sedangkan yang membenarkannya adalah Abu Bakar. Masih adakah keistimeaan yang melebihi keistimeaannya di tengah-tengah para Shahabat?”

Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu` anhu, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil : “Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya “Siapa manusia yang paling engkau cintai?” beliau bersabda :”Aisyah” aku berkata : “kalau dari lelaki?” beliau menjawab : “ayahnya (Abu Bakar)” aku berkata : “lalu siapa?” beliau menjawab: “Umar” lalu menyebutkan beberapa orang lelaki.” (HR.Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa`id radhiyallahu` anhu, bahwa Rasulullah duduk di mimbar, lalu bersabda :”Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia dengan apa yang di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang di sisi-Nya” lalu Abu bakar menangis dan menangis, lalu berkata :”ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu” Abu Sa`id berkata : “yang dimaksud hamba tersebut adalah Rasulullah, dan Abu Bakar adalah orang yang paling tahu diantara kami” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dengan harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar. Andaikan aku boleh mengambil seorang kekasih (dalam riwayat lain ada tambahan : “selain rabb-ku”), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi ini adalah persaudaraan dalam Islam. Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup, melainkan hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata `kamu adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) shahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu 2 kali. Sejak itu Abu bakar tidak pernah disakiti (oleh seorangpun dari kaum muslimin). (HR. Bukhari)

Masa Kekhalifahan

Dalam riwayat al-Bukhari diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu` anha, bahwa ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar datang dengan menunggang kuda dari rumah beliau yang berada di daerah Sunh. Beliau turun dari hewan tunggangannya itu kemudian masuk ke masjid. Beliau tidak mengajak seorang pun untuk berbicara sampai akhirnya masuk ke dalam rumah Aisyah. Abu Bakar menyingkap wajah Rasulullah yang ditutupi dengan kain kemudian mengecup keningnya. Abu Bakar pun menangis kemudian berkata : “demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu, berarti engkau memang sudah meninggal.”Kemudian Abu Bakar keluar dan Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Maka Abu Bakar berkata : “duduklah wahai Umar!” Namun Umar enggan untuk duduk. Maka orang-orang menghampiri Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata : “Amma bad`du, barang siapa diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Kalau kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman :

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul .... kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144)
Ibnu Abbas radhiyallahu` anhuma berkata : “demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya melainkan melantunkannya.”

Sa`id bin Musayyab rahimahullah berkata : bahwa Umar ketika itu berkata : “Demi Allah, sepertinya aku baru mendengar ayat itu ketika dibaca oleh Abu Bakar, sampai-sampai aku tak kuasa mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah ketika aku mendengar Abu Bakar membacanya. Kini aku sudah tahu bahwa nabi memang sudah meninggal.”

Dalam riwayat al-Bukhari lainnya, Umar berkata : “maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap mengucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshor berkumpul di sekitar Sa`ad bin Ubadah yang berada di Saqifah Bani Sa`idah” mereka berkata : “Dari kalangan kami (Anshor) ada pemimpin, demikian pula dari kalangan kalian!” maka Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarroh mendekati mereka. Umar mulai bicara, namun segera dihentikan Abu Bakar. Dalam hal ini Umar berkata : “Demi Allah, yang kuinginkan sebenarnya hanyalah mengungkapkan hal yang menurutku sangat bagus. Aku khawatir Abu Bakar tidak menyampaikannya” Kemudian Abu Bakar bicara, ternyata dia orang yang terfasih dalam ucapannya, beliau berkata : “Kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri.” Habbab bin al-Mundzir menanggapi : “Tidak, demi Allah kami tidak akan melakukannya, dari kami ada pemimpin dan dari kalian juga ada pemimpin.” Abu Bakar menjawab : “Tidak, kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri. Mereka (kaum Muhajirin) adalah suku Arab yang paling adil, yang paling mulia dan paling baik nasabnya. Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin al-Jarroh.”Maka Umar menyela : “Bahkan kami akan membai`atmu. Engkau adalah sayyid kami, orang yang terbaik diantara kami dan paling dicintai Rasulullah.” Umar lalu memegang tangan Abu Bakar dan membai`atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang berkata : “kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa`ad (bin Ubadah).” Maka Umar berkata : “Allah yang telah membunuhnya.” (Riwayat Bukhari)

Menurut `ulama ahli sejarah, Abu Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata : “sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar oleh Abu Bakar sehingga dia berkata : “tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memerahkan susu kambing-kambing mereka.

Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, beliau memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin. Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah umroh, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. beliau memasuki kota Makkah sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Beliau ditemani oleh beberapa orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada Abu Quhafah (Ayahnya Abu Bakar) : “ini putramu (telah datang)!”

Maka Abu Quhafah berdiri dari tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh. Beliau turun dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil berkata : “wahai ayahku, janganlah anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu Quhafah dan mengecup keningnya. Tentu saja Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya tersebut.

Setelah itu datanglah beberapa tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan al-Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu Bakar : “Assalamu`alaika wahai khalifah Rasulullah!” mereka semua menjabat tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata : “wahai Atiq (julukan Abu Bakar), mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata : “Wahai ayahku, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata : “Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan dzalim?” Ternyata tidak ada seorangpun yang datang kepada Abu Bakar untuk melapor sebuah kedzaliman. Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.

Wafatnya

Menurut para `ulama ahli sejarah Abu Bakar meninggal dunia pada malam selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Al Khazin Ahli Matematika dan Astronomi Islam

Dari wilayah Marv, Khurasan, Iran, lahir seorang ahli matematika terkemuka di dunia Islam. Dia bernama Abu Ja'far Muhammad bin Muhammad Al-Husayn Al-Khurasani Al Khazin. Keahliannya dalam menyajikan rumus dan metode perhitungan untuk menguraikan soal-soal rumit begitu dikagumi dan dijadikan rujukan hingga berabad-abad kemudian.
Tidak diketahui secara pasti tahun kelahiran tokoh ini. Akan tetapi, para sejarawan memperkirakan Al-Khazin meninggal dunia antara 961 dan 971 Masehi. Selain dikenal sebagai ahli matematika, semasa hidup ia juga seorang fisikawan dan astronom yang disegani.

Merujuk pada sejumlah catatan sejarah, Al-Khazin merupakan satu dari sekian banyak ilmuwan yang telah lama dilupakan. Namanya baru mencuat kembali pada masa-masa belakangan ini. Di dunia Barat, Al-Khazin dikenal sebagai Alkhazen. Ejaan dalam bahasa Eropa menyebabkan ketidakjelasan identitas antara dia dan Hasan bin Ibnu Haitsam.

Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab nama Al-Khazin sedikit tenggelam. Al-Khazin merupakan ilmuwan zuhud. Dia menjalani hidup sederhana dalam hal makanan, pakaian, dan sebagainya. Ia sering menolak hadiah para penguasa dan pegawai kerajaan agar tidak terlena oleh kesenangan materi.

Beberapa guru tenar menghiasi rekam jejak Al-Khazin saat masih menimba ilmu. Salah satu gurunya bernama Abu Al-Fadh bin Al-Amid, seorang menteri pada masa Buwayhi di Rayy. Al-Khazin menuangkan pemikirannya dalam sejumlah risalah bidang matematika dan telah memperkaya khazanah keilmuan di dunia Islam.

Sebut saja, misalnya Kitab al-Masail al-Adadiyya yang di dalamnya tercantum karya Ibnu Majah, yaitu al-Fihrist edisi Kairo, Mesir. Karyanya yang paling terkenal adalah Matalib Juziyya mayl alMuyul al-Juziyya wa al-Matali fi al-Kuraal Mustakima. Seluruh kemampuan intelektualnya dia curahkan pada karya ini.
Termasuk perhitungan rumus teorema sinus untuk segitiga. Seperti tercantum dalam buku al-Fihrist edisi Kairo, AlKhazin pernah memberikan komentar ilmiah terhadap buku Element yang ditulis ilmuwan Yunani, Euclides, termasuk bukti-bukti yang diuraikannya menyangkut kekurangan serta kelemahan pemikiran Euclides.

Kontribusi luar biasa Al-Khazin mencakup peragaan rumus untuk mengetahui permukaan segitiga sebagai fungsi sisisisinya. Ia mengambil metode penghitungan setiap sisi kerucut. Dengan itu, dirinya berhasil memecahkan bentuk persamaan x3 + a2b = cx2. Di ranah matematika, persamaan itu sangat terkenal.

Ini merupakan sebuah soal matematika rumit yang diajukan oleh Archimedes dalam bukunya The Sphere and the Cylinder. Sayangnya, seperti disebutkan pada buku Seri Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah, sekian banyak teks dan risalah ilmiah Al-Khazin tak banyak tersisa pada masa kini.

Hanya beberapa saja yang masih tersimpan, di antaranya komentarnya terhadap buku ke10 dari Nasr Mansur dalam Rasail Abi Nasr ila al-Biruni. Jejak keilmuan Al-Khazin juga dapat ditelusuri dalam lingkup astronomi. Dia mengukir prestasi gemilang melalui karyakaryanya. Salah satu yang berpengaruh adalah buku berjudul Zij as Safa'ih.

Al-Khazin mempersembahkan karya itu untuk salah satu gurunya, Ibnu Al Amid. Ia juga membahas tentang peralatan astronomi untuk mengukur ketebalan udara dan gas (sejenis aerometer). Saat nilai ketebalan bergantung pada suhu udara, alat ini merupakan langkah penting dalam mengukur suhu udara dan membuka jalan terciptanya termometer.
Manuskrip karya Al-Khazin tersebut tersimpan di Berlin, Jerman, namun hilang ketika berkecamuk Perang Dunia II. Oleh astronom terkemuka, Al-Qifti, karya itu dianggap sebagai subyek terbaik dan sangat menarik untuk dipelajari. Buku Zij as Safa'ih menuai banyak pujian dari para ilmuwan.
Menurut Al-Biruni, beragam mekanisme teknis instrumen astronomi berhasil diurai dan dijelaskan dengan baik oleh Al-Khazin. Tokoh ternama ini pun kagum atas sikap kritis Al-Khazin saat mengomentari pemikiran Abu Ma'syar dalam hal yang sama. Tokoh lain yang menyampaikan komentarnya adalah Abu Al-Jud Muhammad Al-Layth.
Ia menyatakan, pendapat Al-Khazin mengenai cara menghitung rumus chord dari sudut satu derajat. Dalam Zij disebutkan, soal itu bisa dihitung apabila chord dibagi menjadi tiga sudut. Sementara itu, Abu Nash Mansur memberikan koreksi atas sejumlah kekurangan yang terdapat pada karya Al-Khazin itu.

Penetapan inklanasi ekliptika tak luput dari perhatian Al-Khazin. Persoalan astronomi ini sudah mengemuka sejak zaman Archimedes. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Mahani, meninggal pada 884 Masehi, yang pertama mengangkat kembali tema ini. Oleh AlKhazin, hal itu kembali dipelajari dan dia berhasil menjabarkannya dengan baik.

Menurut Al-Khazin, pembagian bola dengan sebuah bidang datar dalam satu rasio ditentukan dengan menyelesaikan persamaan pangkat tiga. Demikian ilmuwan ini menyelesaikan soal astronomi tadi yang segera mendapatkan pujian dari astronom-astronom lainnya.
Terdapat beberapa aspek penting yang dikupas oleh Al-Khazin dalam buku astronomi yang ia tulis. Dalam Zij, ia menunjukkan penetapan titik derajat tengah atau cakrawala yang kemiringannya tidak diketahui sebelumnya. Ia juga mampu menghitung sudut matahari melalui penentuan garis bujur.

Sumbangsih lain adalah menyangkut penentuan azimut atau ukuran sudut arah kiblat dengan memakai peralatan tertentu. Al-Khazin berhasil mengenalkan metode hitung segitiga sferis. Komentar-komentarnya cukup mendalam terhadap karya astronomi lain, misalnya, ia pernah menulis sebuah komentar atas Almagest karya Ptolemeus.

Subjek yang ia bahas adalah tentang sudut kemiringan ekliptik. Sebelumnya, rumus itu dikenalkan Banu Musa pada 868 Masehu di Baghdad, Irak. Ia juga mencermati hasil pengamatan AlMawarudzi, Ali bin Isa Al-Harrani, dan Sanad bin Ali. Hal ini terkait dengan penentuan musim semi dan musim panas. Sementara itu, melalui tulisannya yang berjudul Sirr al-Alamin, Al-Khazin mengembangkan lebih jauh gagasan-gagasan dari Ptolemeus yang terdapat pada buku Planetary.

sejarah rumah sakit islam

Kemajuan bidang medis memicu perkembangan lebih jauh. Tak melulu karya dan pemikiran yang berserak. Namun, pada akhirnya muncul sebuah institusi berupa rumah sakit. Keberadaan rumah sakit selain berfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan juga menjadi sentra pengembangan ilmu medis.

Rumah sakit yang representatif paling awal dibangun di Baghdad, Irak pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Tepatnya, ketika Harun al-Rasyid (786809) menjadi khalifah. Rumah sakit dikenal dengan sebutan bimaristan atau maristan. Bangunan rumah sakit di Baghdad besar dan megah.

Rancang bangunnya menjadi acuan bagi rumah sakit lainnya yang baru didirikan di wilayah Islam. Gambaran mengenai rumah sakit di Baghdad disampaikan oleh sejarawan Muslim terkemuka al-Jubair. Ia mengunjungi Baghdad pada 1184 Masehi. Menurutnya, perlengkapan rumah sakit sangat memadai.

Bahkan ia mengungkapkan, kemegahannya tak kalah dengan istana khalifah. Kebutuhan air bersih di rumah sakit disalurkan langsung dari Sungai Tigris. Pada masa selanjutnya, umat Islam membangun sejumlah rumah sakit besar dan terintegrasi. Maksudnya, rumah sakit itu mampu memberi pelayanan pengobatan beragam jenis penyakit.

Selain itu, terdapat fasilitas rawat inap, ruang penyimpanan dan pelayanan obatobatan, tempat pendidikan bagi dokter dan tenaga medis, perpustakaan, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu serta praktik kedokteran. Sebagian besar rumah sakit Islam berkonsep modern sudah memiliki standar semacam ini.

Oleh karena itu, rancang bangun dan tata letak ruangan rumah sakit menjadi penting untuk dapat mengakomodasi seluruh fungsi tadi. Beberapa ruangan khusus melengkapi sarana yang ada. Hal itu diungkapkan dalam buku History of the Arabs. Si penulis buku, Philip K Hitti, menyebut rumah sakit Islam mempunyai ruangan khusus perempuan.

Berdiri pula gudang obat yang menyatu dengan bangunan rumah sakit. "Beberapa di antaranya dilengkapi perpustakaan kedokteran. Rumah sakit juga menawarkan kursus pengobatan," urai Hitti. Gambaran yang hampir sama tercantum dalam artikel berjudul "Islamic Culture and the Medical Arts" pada laman National Library of Medicine.

Artikel tersebut menggambarkan, rumah sakit yang didirikan umat Islam di Suriah maupun Mesir sepanjang abad ke-12 dan ke-13 juga memiliki setidaknya empat bangsal besar. Ruangan lain berukuran tidak terlampau luas, seperti ruang untuk dapur, gudang, apotek, tempat istirahat staf, dan perpustakaan.

Tiap bangsal biasanya dilengkapi pancuran air bersih untuk minum atau mandi. Rumah sakit menerapkan pemisahan bangsal pasien perempuan dan laki-laki. Juga bangsal untuk pasien berpenyakit menular dirawat di ruangan terpisah dari pasien lain. Selain itu, ada pula ruang khusus bagi pasien penyakit mata dan disentri.

Di sisi lain, ada area khusus yang digunakan sebagai ruangan operasi dan ruang perawatan pasien gangguan jiwa. Kamar mandi dengan pasokan air memadai tersedia pada beberapa bagian rumah sakit. Para pengelola rumah sakit sangat memerhatikan unsur kebersihan sehingga tidak membiarkan kamar mandi dalam keadaan kotor.

Sejumlah rumah sakit milik pemerintah memiliki laboratorium guna meracik beragam obat. Tak jarang, pusat farmasi ini sanggup memproduksi obat-obatan dalam skala besar. Sebagian besar obat diberikan untuk pasien rumah sakit dan sebagian lagi disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Prestasi mengagumkan ketika rumah sakit menjadi tempat pendidikan, tempat menempa mahasiswa kedokteran dan perawat, serta pengembangan kajian medis. Ada pula ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar-mengajar. Tradisi itu mulai berlangsung pada masa Khalifah al-Ma'mun serta al-Mu'tashim, dan masih ada di era Seljuk dan Usmani.

Di Rumah Sakit Bursa yang berdiri di dekat istana Sultan Yildirim, dibuka sekolah kedokteran. Di rumah sakit itu, di samping ada ruang belajar, ada pula ruangan pengajar yang juga para dokter senior. Perpustakaan besar yang menyimpan bermacam naskah ilmiah medis turut melengkapi sarana pendidikan.

Rumah sakit lain yang membuka fasilitas pelatihan kedokteran yakni RS al-Nuri di Damaskus, Suriah dan RS Marakesh di Maroko. Ruangan yang sangat penting dan selalu ada di rumah sakit Islam adalah masjid atau tempat ibadah. Fasilitas tersebut memudahkan pasien dan pengunjung dalam menunaikan ibadah.

Tak heran, ruangannya cukup besar dan bisa menampung banyak jamaah. Selain itu, dalam artikel berjudul "The Beginning of the Islamic Hospitals" pada laman muslimheritage menuturkan, di sana dibangun pula gereja bagi pengunjung, pasien, maupun tenaga kesehatan yang beragama Nasrani.

Manajemen rumah sakit menyediakan ruang tunggu bagi pengunjung. Sarana penunjang lainnya adalah aula, klinik pasien rawat jalan dan penyakit ringan, juga dapur. Dan yang membanggakan, seluruh pelayanan dan sarana itu dapat dinikmati oleh pasien tanpa dipungut biaya sepeser pun. Ilmuwan Hossam Arafa dalam tulisan berjudul "Hospital in Islamic History" mengatakan, karakteristik rumah sakit Islam adalah melayani pasien tanpa memandang asal usul, etnis, suku, maupun agama. Semua berhak menerima perawatan medis tanpa perlu membayar biaya layanan rumah sakit.

Dana yang dibutuhkan untuk memberikan layanan pengobatan, perawatan, hingga biaya operasional rumah sakit sepenuhnya berasal dari dana wakaf. Umat Muslim dan penguasa mewakafkan sebagian harta mereka untuk kepentingan sosial dan agama. Pada masa itu, dana wakaf yang terkumpul cukup besar.

Dana wakaf tersebut lebih dari cukup untuk membiayai pembangunan serta operasional rumah sakit. Sebagian anggaran negara juga didistribusikan ke rumah sakit, terutama untuk pemeliharaan peralatan dan penyediaan obat-obatan. Karena itulah, rumah sakit bisa beroperasi secara maksimal dan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Konsep dan rancang bangun rumah sakit modern milik umat Muslim ini dijadikan model bagi rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di Eropa beberapa abad kemudian.

kisah sunan gresik

1. Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.

Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.

Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda itu memasuki jalanan desa.

Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.

Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.

Delapan belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak keruan.

“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis rumah kalian !”

Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun berani menampakkan diri.

Wajah si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan orang yang menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak melakukannya.”

“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”

“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.

“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang hingga tujuh turunan .”

Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena tak ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam.

“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan menyembah kakiku jika mendengar namaku disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak memandangku sebelah mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi pelajaran!”

Ia menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.

“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”

Beberapa orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang sudah mereka siapkan. Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain tinggal menyahutkan api pada obor itu. Dalam tempo singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor menyala di tangan kanan. Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda.

Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.

Sepasang mata Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru saja didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila dengan mulut komat kamit.

Julung Pujud segera mendekati bangunan baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama Hindu maupun Budha.

Tepat pada saat itu orang yang duduk di bagian paling depan mengorak sila, berdiri dan mengajak orang-orang yang berada di belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.

“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian rundingkan. Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan suara mengejek.

Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih hingga sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.

“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar nama dan sepak terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana anak buahmu ?”

Julung Pujud mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.

Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.

“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini ?”

Pemuda itu malah menatap lekat kearah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang.

Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan.

Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.

Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.

“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.

“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong !”

“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.

“Baik, panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.

Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.

Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.

Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.

“Anak muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani coba-coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial !”

“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat !”

“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud” Pantas wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat !”

Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.

“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong ?”

Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.

“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.

“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk Penjalin.

Sementara itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya yang panjang.

Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi.

‘sebenarnya aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala kalian memang kepala batu yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar Gafur.

“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki berewokan itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya membentuk cakar rajawali di arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih.

Semua orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak kaget. Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan Julung Pujud menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.

“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis tangan yang hendak mencengkeram wajahnya bahkan langsung balik mengirim serangan dengan menendang dada Julung Pujud.

Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah. Dadanya terasa bagai di hantam palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.

Sudah diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda tentulah Gafur itu mempunyai sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika kepandaian ilmu silat si pemuda demikian tingginya sehingga sekali gebrak dia dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek.

Tadinya ia berharap akan meringkus pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas. Dia ingin mencengkeram dan langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir putuslah nyawa pemuda itu.

Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik. Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini dengan wajah merah padam Julung Pujud langsung mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur. Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.

Semua serangan Julung Pujud hanya mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera membasahi wajahnya. Ia merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.

Dia adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat kecepatan gerak seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara Gafur mengelak dan balas menyerang.

Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.

“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.

Julung Pujud yang mendengar teriakan Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia semuda itu sudah menguasainya dengan baik. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan tidak akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga puluh jurus telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih sering mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga biasa.

Sementara Julung Pujud sangat bernafsu merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan seluruh kemampuan yang ada. Ia telah mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh Gafur.

“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya sudah mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”

Julung Pujud makin panas mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang dan penuh perhitungan. Tak gampang terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala pertimbangan akal sehat. Kini Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu ketika Gafur merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan perampok itu.

“Trang ! Desss ! Desss !”

Saat itu Julung Pujud membacokan goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira tangan Gafur yang bakal putus dibabat golok itu. Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa terkejutnya, Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan teramat keras dari sepasang kaki Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan terjembab ke tanah dengan keras sekali. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya memandanginya dengan bengong, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia !”

Delapan belas prajurit itu langsung turun dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur.

Namun puluhan penduduk yang tadinya hanya berdiri di belakang Gafur segera mengambil senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu ke arah kawanan perampok yang hendak mengeroyok Gafur.

Ternyata ada beberapa pemuda desa yang telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup membuat kawanan rampok itu repot meladeni serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang menyerang dengan nekad dengan senjata parang, golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk padi, lemparan batu dan sebagainya.

Selama menjarah desa puluhan kali belum pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan sesengit ini. Biasanya para penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan mereka. Tak ada yang berani melawan.

Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa mereka sedang bertemu dengan macan rupanya benar-benar menjadi kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah menjadi sekawanan harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik ketenangannya. Julung Pujud melangkah tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas anak buahnya bertarung sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung meloncat ke depan Gafur.

“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.

“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”

Habis berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari jarak jauh.

Serangkum hawa panas meluncur ke dada Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis.

“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap !”

Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya bakal membalik. Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan hinggap disalah satu dahannya. Gafur memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke arah penduduk desa yang sedang bertempur melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok itu bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima orang penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok.

“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin yang masih tertengger diatas dahan pohon mangga.

Tampa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur berjumpalitan di udara beberapa kali untuk menghindari daun mangga yang meluncur bagai sebatang anak panah.

“Tasss ! Jreppp !”

Gafur berhasil menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun itu mengenai batang pohon pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah batang pohon kelapa. Amblas dan menancap do batang pohon kelapa itu.

Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ?

Nalurinya berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di salah satu dahan pohon mangga, tepat diseberang Tekuk penjalin.

“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa, “Tegur Gafur dengan sopan sekali. “Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ? Mari kita tuntaskan pertarungan ini di atas tanah.”

“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.

“Andika salah sangka. Saya hanya tidak mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar. Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya dengan susah payah selama puluhan tahun” ujar Gafur dengan suara datar.

Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu demikian menghargainya. Ia merasa malu karena selama bertahun - tahun membunuh dan memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak berharga.

“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di atas tanah.

Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat.

Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning jatuh ke tanah.

“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.

Gafur memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah pengalaman dibanding kawanan perampok yang asalnya memang dari pasukan tempur kerajaan Majapahit.

Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan Al-Karomah. Tekuk Penjalin langsung roboh terjungkal ke tanah. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian tubuhnya nampak matang biru.

Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring kudanya secara diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya Julung Pujud bersiap-siap hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita kekalahan.

“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran.

“Andika keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu yang barusan kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat Karomah.”

“Kau berasal dari perguruan mana ?”

Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih terus bertempur dengan kawanan perampok.

Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.

“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata mencorong.

Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat. Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya tanpa main-main.

Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang matanya memandang Gafur dengan penuh penasaran. Rasanya dia masih belum percaya jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti selain dirinya.

“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin.

Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam. Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu dengan tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati ditangannya.”

Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk memberi perintah agar anak buahnya menyerah. Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang hendak menginjak dadanya.

“Juhhhhh .......... !”

Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih bersih berubah jadi merah padam pertanda marah.

Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak tentu ambrol dada Tekuk Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati begitu saja. Kini lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.

“Kali ini tamatlah riwayatku .......” Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur diangkat tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.

Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia menyebut , “Astaghfirullah ..”

Wajahnya yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah yang menggelegak mendadak berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang menempel di wajahnya.

“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.

“Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.

“Aku tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !”

“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat yang pantas di bunuh ?”

“tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum kau meludahiku dan sebelum aku marah. Aku boleh membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung. Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah menyeleweng dari jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas dasar kebencian pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan ajaran agamaku !”

Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.

“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk Penjalin.

“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.”

“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit yang membelot dan menjadi pemimpin rampok. Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk Penjalin.

“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi. Namun kalau kau masuk agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya kita tidak akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya dengan perbuatan baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu akan dihapus semua.”

“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.

“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur.

Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya. Sementara itu, pertempuran antara penduduk desa dengan kawanan perampok masih berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana.

“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”

Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.

“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak !”

Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak buahnya.

“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan membaur dengan masyarakat !”

Delapan belas perampok itu sekarang tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk Penjalin.

Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri !”

“Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan coba-coba mengganggu desa ini lagi. Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !”

“Ha ha ha ha .......... !” Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci !”

Julung Pujud mendahului memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya yang tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang masih merasa geram dan dendam segera menendang dan memukuli delapan perampok yang telah menyerah, duduk bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.

Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !”

“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.

“Serahkan mereka padaku. Aku akan mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa. Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan anak buahnya duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang segera berkumpul di hadapan Gafur.

“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur membuka suara.” Muslim yang kuat lebih disukai Allah. Dengan adanya kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang lain, itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari ilmu pencak silat di samping belajar ilmu agama !”

Demikianlah, secara panjang lebar Gafur memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk mengenal dan memperdalam agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum mengenal Islam. Dia membantu para penduduk untuk meningkatkan taraf kehidupannya dengan cara membimbing mereka bertanam padi dengan cara yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari gurunya ia juga telah banyak menolong para penduduk yang menderita sakit.

Penduduk setempat akhirnya menaruh simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan mengenalkan keindahan dan keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung desa dari rongrongan para perampok.

Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau Satria Awan putih. Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh perjalanan hidupnya.

Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.

Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah satu di antara sekian banyak murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu. “Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang disebut Kakek Bantal itu ?” tanya Tekuk Penjalin pada suatu hari.

Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”

2. Menanti Tetes Air

Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa.

Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.

Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan.

Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat. Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.

Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah.

Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.

Irama gending segera berhenti.

Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar. “Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.

Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.

“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.

Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Kini sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.

“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua segera mendekati si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu mencabut belati dari balik pinggangnya.

Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”

“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan.

“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat pasi.

“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.

Ia mengangkat belati itu di atas dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak menikam jantung si gadis cantik dengan belati itu.

“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.

Kakek Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis. “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.

Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.

“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis cantik ?”

“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air.” Sahut sang pendeta.

“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi. Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.

Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala Kakek Bantal.

Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak menyaksikan hal itu.

Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke dada si gadis.

“Kau ...... ? Kau ...... ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”

Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.

“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?” tanya Kakek Bantal.

“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.

“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”

“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.

“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek Bantal.

Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “.

Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan !”

Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya Kakek Bantal.

Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tiba-tiba terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.

“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”

“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”

“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini ?”

“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya.

“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.

“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.

Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu ! Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segan-segan akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”

“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.

“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”

“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.

“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.

“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.

“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”

Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”

“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.

“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan !”

Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.

Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.

“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja !”

Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !”

Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.

Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.

“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”

Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi ?”

Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia !”

Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.

“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ...... ! jawab para penduduk dengan serentak.

Demikianlah, selama beberapa hari Kakek Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku orang awam.

Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu. Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu.

Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.

3. Siapa Kakek Bantal?

Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.

Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah masuk Islam. Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa kerajaan Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota Jepara adalah daerah Jawa Tengah).

Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.

Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran. Kakek Bantal diperkirakan datang ke Gresik tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.

Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.

Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu :

“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).

Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki. Dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa.

Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.

Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.

Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari :

Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya :

“Allah, tidak ada Tuhan malainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.”

Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya :

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya :

“Semua yang di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya :

“Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga. Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”

Selanjutnya tertulis data siapa yang dimakamkan di kuburan itu. “Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendiri Sultan dan para Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”

Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.

Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.

Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.

Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta; kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.

Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.

Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain.

Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa yang seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam. Tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.

Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.

Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang. Dimana para ulama menggodok calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya.

Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.

Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan Allah itu ?” Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.”

Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.” Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistim pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.

Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang.

Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru.

Seorang imam surau, musholla atau masjid adalah pemimpin jamaahnya. Pada saat imam mengucapkan, “Iya kana’budu waiyya kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami mohon pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi, menyembah dan mohon pertolongan hanya kepada Allah ?

Bagaimana jika shalat makmumnya tidak khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena masalah ekonomi. Apakah imam yang menjadi wakil makmum menghadapkan diri kepada Tuhan itu bersiap masa bodoh dan tidak menghiraukan masalah ekonomi makmumnya. Sehingga setiap kali memimpin shalat sang imam terus saja berbohong kepada Tuhannya bahwa dia menyatakan siap mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi makmum atau orang yang dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah duniawi. Itulah sebabnya para Wali tidak hanya membimbing agama kepada ummatnya melainkan juga berusaha meningkatkan taraf kehidupan ummatnya.

4. Tamu dari Negeri Cermain

Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagaian besar rakyat Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.

Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.

Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragam seperti itu hanya hanya akan merusak keagungan agama Islam.

Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang. Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.

Kabar kematiannya Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke desa Leran. Brawijaya sang raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.

Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri dibawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.

Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim denga suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup bersampingan dengan aman dalam satu negara.

Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Sanga. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419M.

Kehebatan Pasukan Kavaleri Islam

Tentara Islam dikenal memiliki pasukan berkuda yang sangat hebat. Di era kejayaan Islam, kekuatan para prajurit Islam benar-benar tertumpu pada keahlian berkuda dan memanah. Sejarah peradaban Islam mencatat, kehebatan pasukan berkuda Islam telah menjadi kunci kemenangan dalam berbagai pertempuran penting.

Pasukan berkuda biasa disebut kavaleri, yang berasal dari bahasa Latin caballus dan bahasa Prancis chevalier yang berarti “pasukan berkuda”. Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History, mengungkapkan, sebelum Islam berkembang, peradaban lain, seperti Bizantium telah memiliki pasukan kavaleri yang tangguh.

Menurut al-Hassan, pada abad pertama Hijriah (ke-7 M) kavaleri telah menjadi kekuatan utama militer Bizantium. Pasukan kavaleri yang tangguh juga telah dimiliki bangsa Persia, jauh sebelum Islam berkembang. Ksatria berkuda Iran, Asawira , tutur al-Hassan, merupakan pasukan yang mampu menurunkan kekuatan kavaleri yang lebih besar ke medan perang daripada bangsa Arab.

“Karena pada masa awal perkembangan Islam, jumlah pasukan berkuda dalam ketentaraan masih sedikit, khususnya sebelum penaklukan Makkah,” papar al-Hassan dan Hill. Tioe medan yang datar dan terbuka, ungkap al-Hassan, sangat cocok untuk kavaleri. Namun, bangsa-bangsa Arab, menghindari medan perang seperti itu.

Menurut al-Hassan, militer Islam mulai membentuk pasukan berkuda atau kavaleri pada zaman Khilafah Rasyidah. Adalah Khalifah Umar bin Khattab (berkuasa pada tahun 31-41 H) yang berupaya untuk mengumpulkan kuda bagi tujuan milter dari berbagai daerah. “Hasilnya, terdapat sekitar 4.000 ekor kuda di Kufah. Setelah itu, sedikit demi sedikit strategi kemiliteran Islam berubah, ” ungkap al-Hassan.

Pada awalnya, pasukan kavaleri Islam tak terlalu dominan. Berbekal tombak dan pedang, pasukan tentara berkuda Islam memaikan peranan penting untuk menyerang panggul dan pantat musuh. Perlahan namun pasti, kekuatan kavaleri yang dimiliki militer Muslim semakin bertambah besar dan kuat. Pasukan kavaleri tercatat menjadi kunci kemenangan tentara Islam dalam perang Yarmuk.

Pertempuran Yarmuk merupakan perang antara tentara Muslim dengan Kekaisaran Romawi Timur pada 636 M. Sejumlah sejarawan menyatakan, Perang Yarmuk sebagai salah satu pertempuran penting dalam sejarah dunia, menandakan gelombang besar pertama penaklukan Muslim di luar Arab, dan cepat masuknya Islam ke Palestina, Suriah, dan Mesopotamia yang rakyatnya menganut agama Kristen.

Pertempuran ini merupakan salah satu kemenangan Khalid bin Walid yang paling gemilang, dan memperkuat reputasinya sebagai salah satu komandan militer dan kavaleri paling brilian di zaman Pertengahan. Pertempuran ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, khilafah Rasyidah kedua. Pertempuran ini terjadi empat tahun setelah Nabi Muhammad meninggal pada 632.

Ketika ‘Amr bin Al-’Ash menaklukan Mesir pada tahun 37-39 H/ 658-660 M, komposisi kekuatannya militer Islam telah berubah dari infanteri menjadi pasukan berkuda. Kehebatan pasukan kavaleri Muslim, sekali lagi terbukti dalam Pertempuran Sungai Talas pada 751 M antara Kekhalifahan Rasyidah dengan Dinasti Tang dari Cina. Bermodalkan pasukan kavalery yang tangguh tentara Muslim berhasil meraih kemenangan.

Kemenangan itu membuat Islam menguasai wilayah Asia Tengah dan mulai menyebar luas di negeri Tirai Bambu itu. Pasukan kavaleri Islam juga kerap mendapat bantuan dri pasukan lain, misalnya ketika pasukan berkuda Iran, Asawira bergabung dengan pasukan Islam dalam penaklukan Khuzistan di bawah pimpinan Abu Musa pada tahun 17-21 H/638-642 M.

“Ini hanya salah satu contoh dramatik penyatuan pasukan non-Arab ke dalam angkatan bersenjata Muslim,” kata Al-Hassan dan Hill. Kala itu, pasukan Islam juga merekrut orang-orang Khurasan, Barbar dan Turki. Mereka tetap membawa gaya bertempur dan berkuda khas masing-masing. Sehingga tak bisa dipaparkan satu gaya khas kavaleri dalam satu pertempuran.

Kekuatan pasukan kavaleri Islam kian bertambah kuat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk pada abad ke-6 H dan ke-7 H (ke-12 M dan ke-13 M), periode kritis dalam sejarah Islam. Mamluk atau Mameluk berarti tentara budak yang telah memeluk Islam. Mereka berdinas untuk kekhalifahan Islam dan Kesultanan Ayyubiyah pada abad pertengahan.

Mereka akhirnya menjadi tentara yang paling berkuasa dan juga pernah mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir. Pasukan Mamluk pertama dikerahkan pada zaman Abbasiyyah pada abad ke-9 M. Kala itu, Bani Abbasiyyah merekrut tentara-tentara ini dari kawasan Kaukasus dan Laut Hitam dan mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam.

Menurut al-Hassan, setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.

Saat itu, pasukan berkuda tersebut juga dilatih menggunakan sejumlah senjata. Senjata pasukan berkuda (faris) Mamluk terdiri dari pedang, tombak, panah, perisai dan tongkat kebesaran. Tongkat kebesaran terbuat dari besi atau baja dengan ujungnya berbentuk kubus, diletakkan di bawah sanggurdi, sementara tombak di pegang dengan satu atau kedua tangan, bukan “diluncurkan” atau direndahkan untuk menyerang seperti halnya di barat, tetapi digunakan untuk berkelahi di atas kuda,” jelas Al-Hassan dan Hill.

Faris Mamluk ini melakukan latihan di Tiqab (tunggal:tabaqqa), yakni nama yang diberikan untuk barak-barak di benteng Kairo yang dijadikan akademi militer. Pelatihan ini dimulai ketika pasukan Mamluk mencapai Puncak kejayaannya. Latihan dilakukan secara komprehensif dan dengan disiplin yang ketat. Bahkan, kala itu mereka tak takut mengeluarkan biaya pendidikan kemahiran berkuda hingga seorang prajurit mampu untuk menunggang kuda tanpa pelana maupun dengan pelana, lari meligas, mengderap dan mencongklang, mendatar ataupun melompat. “Dia (faris-red) juga harus mengetahui cara merawat kuda ketika sakit,” kata Al-Hssan dan Hill.

Selain itu, pasukan berkuda yang mengikuti latihan berkuda, harus bisa menggunakan kuda sambil memanah dan menggunakan tombak. Saat itu, seorang faris harus mampu menyerang target dari berbagai sudut dan pada kecepatan berbeda-beda menggunakan kedua senjata itu. Pasukan Mamluk juga sangat terlatih untuk menggunakan pedang dengan cara yang sama. Metode-metode ini teruji keberhasilannya dengan kemenangan Mamluk atas pasukan Perang Salib dan mongol.

Kehebatan pasukan berkuda Islam juga terlihat saat pasukan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fath merebut Konstatinopel pada abad 14 M. Mereka sebelumnya harus berenang mengarungi Selat Bospurus (karena laju kapal dihadang oleh armada Romawi Byzantium di sepanjang pantai), setelah itu naik kuda untuk mengobrak-abrik pasukan musuh dengan serangan panah bertubi-tubi.Begitulah, kisah kejayaan pasukan berkuda tentara Muslim.

Berkuda dalam Islam

Dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari RA, Nabi Muhammad SAW, menganjurkan para sahabatnya termasuk seluruh umat Islam yang mengikuti sunnahnya, agar mampu menguasai bidang-bidang olah raga, terutama berkuda, berenang, dan memanah. Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam menguasai olahraga berkuda, memanah, dan berenang, karena terinspirasi peperangan Romawi-Persia, yang notabene hanya mengandalkan kekuatan otot perorangan belaka.

Saat itu, Nabi Muhammad SAW berpikir lebih maju, ia berfikir bahwa peperangan Romawi-Persia kurang diimbangi kecerdasan otak yang membentuk kerja sama tim. Ketiga olahraga yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW ini mengandung aspek kesehatan, keterampilan, kecermatan, sportivitas, dan kompetisi. Olahraga ini memerlukan kekuatan fisik dan intelektualitas yang tinggi.

Dalam Alquran surat Al-Aadiyaat ayat 1-4 juga tercantum kisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan. ”Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.”

Pada zaman Nabi Muhammad SAW terjadi sejumlah perang besar melawan kaum musyrikin dan kafirin. Saat itu, terjadi adu kepandaian berkelahi orang per orang, baik menggunakan tangan kosong, maupun menggunakan senjata seperti pedang atau tombak. Misalnya Perang Badar dalam bahasa Arab disebut ghazawat badr yang merupakan pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadhan 2 Hijriyah.

Pasukan kecil kaum Muslim yang hanya berkekuatan sebanyak 313 orang ini, bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Mereka berhasil mengalahkan para musyrikin Quraisy. Kemenangan kaum Muslimin dalam perang Badar ini tercantum dalam Alquran, surat Al Anfal ayat 1-10.

Setelah perang Badar, kekuatan militer umat Islam mulai terorganisasi. Ada pasukan berkuda (kavaleri) dan pasukan pemanah (artileri), serta pasukan darat (infanteri). Kala itu, kondisi fisik mereka harus benar-benar terjaga, walaupun dalam keadaan aman mereka menjalankan profesi lain, seperti berdagang, mengajar, bertukang, dan sebagainya. Tapi ketika ada mobilisasi untuk menghadapi serangan atau harus menyerang, fisik dan mental mereka sangat siap.

Pasukan Islam mengalami prestasi gemilang dalam berperang sambil menjalankan ibadah puasa, selain perang Badar, adalah “Futuh Mekah”. Penaklukan Kota Mekah pada tahun 8 Hijriyah sekitar tahun 630 M. Umat Islam yang sedang berpuasa saat itu, dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad saw, berhasil merebut Kota Mekah dari kekuasaan kafir Quraisy. Berkat kemenangan itulah, umat Islam yang dulu harus hijrah ke Madinah selama delapan tahun, dapat kembali ke tanah kelahirannya dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan. she/des[republika]

kisah sunan bonang

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.

Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.

Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di
Tuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.

Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Diantara tembang yang terkenal ialah :

“Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.

Artinya :

Obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh (berilmu),
Keempat harus sering berprihatin (berpuasa),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.

Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di PerpustakaanUniversitas Leiden, Belanda. (Nederland)

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.

Dibawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.

Suluk Wragul

Dhandhhanggula

Wragul 1

Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan
Akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali

Wragul 2

Maka dengarlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencari makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakanTuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa memperdulikan
Bahaya mengncam

Wragul 3

Dilalapnya apa saja ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan
Mustahil ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apapun saja yang dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan

Wragul 4

Akibatnya terlupa bahwa ia ciptaan Allah
Berang-berang berkata dengan ramah
Duh kera hitam, sungguh engkau kejam
Kau paksa aku mengikutimu
Yang kata orang tanpa dipikirkan
Ya, aku terpaksa
Mencari makan, tapi tidaklah
Dengan susah payah
Sekedar semampu diriku ini
Aku tak mencari-cari

Wragul 5

Hak orang lain tak kurebut
Tak kuperhatikan bencana dan kutuk
Tak kulihat yang hidup
Demikian pulalah halnya burung elang
Mengikuti tenggiling untuk cari makan
Susah untuk memberi peringatan
Jika engkau merasa
Sebagai makhluk Tuhan adanya
Janganlah hati mendua
Tak usah campuri urusan orang lain
Karena semua punya kadar masing-masing

Wragul 6

Sudah diberi hak hidup sendiri-sendiri
Seperti juga berbagai tetumbuhan ini
Atau yang memakan dedaunan
Mengikuti takdir Tuhan
Siapa akan mengikuti kata-katamu
Siapa menuruti ajakanmu
Sedangkan di hutan tempatmu
Sang kera hitam menjawab
Tidaklah akan kuubah
Makananmu, hanya ingatlah
Kepada yang memberi makan kepadamu

Wragul 7

Perbuatlah amal kebajikan
Terpaksa harus kuberitahukan
Hal-hal yang berfaedah saja
Sekedar menunjukkan yang benar adanya
Jawab Berang-berang
Tahulah aku
Maksud omonganmu
Kau inginkan
Agar kuberi kau makan
Tapi aku tak akan tunduk kepadamu

Wragul 8

Ibarat sudah tahu kebohongannya
Mulut jujur hati berdusta
Karena memaksa harus berbuat begini
Menghormat kepada yang belum mengerti
Agar dipercaya di dunia ini
Berapa kekuatannya
Tak tahu bahwa
Dengan bertapa sesungguhnya bersembunyi
Ingin kulihat mana pendeta yang benar-benar sakti
Kalau berhasil melebihi

Wragul 9

Kelihatannya luhur dan mulia
Serba benar pembicaraannya
Tuntas luar dalamnya
Bagus penampilannya
Kena kotoran sedikitpun tak bersedia
Seperti burung elang akibatnya
Terbang tinggi
Lupa melihat kanan kiri
Begitu musuh disiasati
Selamat sampai akhir hari

Wragul 10

Apabila ibarat ikan
Ikan gegenjong yang lemah badannya
Namun tajam tajinya
Hai kera hitam
Mana kata-katamu yang benar
Yang diharamkan ditolaknya
Itu kalau sedikit jumlahnya
Dan walaupun haram
Tapi kalau ada sedikit manisnya ditutupi
Dengan amat tersembunyi

Wragul 11

Jelas itu dicampur aduk
Ada yang diucapkan dengan pura-pura
Yang terlihat tindakannya
Pujangga maupun pendeta
Sama-sama kurang budinya
Aku tahu semuanya
Sama-sama meminta-minta
Hanya satu dua yang mengamalkan
Meminta tanpa dibantah
Walaupun tidak sungguhan

Wragul 12

Kikir kalau dimintai
Lagaknya seperti pendeta sakti
Usaha seakan tak henti
Dalam hidup ini hendaklah mengerti
Upaya orang lain
Dalam hidup ini seyogianya
Tak demikian tindakannya
Di mana ada niat yang tak semestinya
Kata ahli kitab tak mau makan riba
Sebab ia pendeta

Wragul 13

Orang besar orang kecil berebut bersaing
Berupaya menggunakan akal masing-masing
Yang namanya raga manusia
Siap semuanya
Untuk beramal senantiasa
Sedangkan apa kelebihan pendeta
Sibuk mengolah ilmu pengetahuan
Rahasianya mencari pekerjaan
Berkah yang melimpah diharapkan
Jaksa pun demikian

Wragul 14

Demikianlah yang tersembunyi pada para penulis
Mencari nafkah dengan menipu mengemis
Supaya ada kaulnya
Demikian para dukun adanya
Menjual mantra
Juga para guru yang terhormat
Mengajarkan ilmu luhur
Sama saja yang diharapkan
Yaitu pengabdian murid
Seperti burung kuntul

Wragul 15

Bertapa ada tujuannya
Agar memperoleh ikan di rawa
Agar semua itu kena olehnya
Adapun yang bertapa di gunung
Tujuannya pun
Untuk memperoleh Negara
Oleh masyarakat dipercaya
Begitu yang namanya pendeta
Terus menerus bertukar pikiran
Berbuat kepercayaan dalam pemerintahan

Wragul 16

Pendapat yang benar ditentang
Mencari saksi makin kesulitan
Diuji dengan kepercayaannya
Tak tahu bahwa terlalu asyik ia
Membicarakan keburukan orang
Sementara pada dirinya sendiri tak kelihatan
Padahal kejelekannya sebesar gunung
Lagi pula ia tertarik pada rupa
Serta keanekaragaman suara yang masuk telinganya
Dari awal hingga akhir diterimanya

Wragul 17

Karena banyak orang membingungkan
Tersandunglah ia di tempat yang rata
Sembuh, tapi mati akhirnya
Yang samar dikira nyata
Yang bukan-bukan dikira mengalir
Yang duduk dikira air
Yang tidak terlihat
Senantiasa melihat cela orang lain
Sedang aku, cari makan tak sembunyi-sembunyi
Sang kera bicara gusar

Wragul 18

Ya, kamu jadinya
Mencela tingkah laku pendeta
Kalau begitu
Kamu pantas diburu
Hidupmu bagiku gambling
Merintangi pekerjaan
Kemudian sang berang-berang
Berucap : Apa maumu !
Seraya merunduk sambil menerjang
Tapi telah meloncat si kera hitam

Wragul 19

Pada dahan kayu sambil bersiaga
Sehingga mengagetkan kera-kera lainnya
Semua pun angkat bicara
Dengan bahasa lambang mereka
Marah mereka
Siapa saja yang mencela pendeta
Boleh kita mengejarnya
Sampai mati ia
Semua kera mengepung di pinggir sungai itu
Tapi berang-berang sudah tahu

Wragul 20

Ketika sudah berkumpul semua kera hitam
Berang-berang masuk ke dalam air pelan-pelan
Karena kera sebanyak itu tidaklah terlawan
Kemudian si berang-berang
Sambil makan ikan, memberi peringatan:
Kera hitam, pulanglah kau
Bersama teman-temanmu
Sebab siapa tahu si empunya datang
Yang di sungai ini ia punya larangan
Siapa tahu firasat ia dapatkan ……….

Wragul 21

Sanggupkah kau lindungi teman-temanmu ?
Maka semua kera hitampun bubar berlalu
Agaknya mereka malu
Dan sang berang-berang keluar dari air
Mengamati kiri kanan dengan rasa khawatir
Kalau-kalau masih ada kera yang belum menyingkir
Sang berang-berang berkata dalam hati
Berangan-angan ia
Kera hitam merasa suci dirinya
Mencela orang yang sedang mencari mangsa

Wragul 22

Memang perbuatan yang cemar
Adalah perbuatan melanggar
Hanya saja tak terlihat
Sungguh, cari saja yang mempunyai
Kebahagiaa, berlakulah laku sejati
Meskipun seorang pendeta
Seulung apapun ia
Jika menulis, lupa beribadah
Dirinya sendiri tak tampak olehnya
Karena orang lain saja yang dilihatnya

Wragul 23

Jadi, tingkah laku orang peroranglah
Yang merupakan makanan kesukaannya
Kelihatan bijak perbuatannya
Namanya pujangga
Yang terkandung di hati yang ditatapnya
Tapi setelah keluar darinya
Terlihat ia ingin menjiplaknya
Demikian ibarat seekor burung
Bertengger di pohon beringin yang terbalik

Wragul 24

Sementara sang berang-berang
Bersoal jawab dengan kera hitam
Turunlah burung tuhu
Menanyakan kesejatian
Mungkin selama perbincangan itu
Yang demikian yang diinginkan
Kepada kalimat tauhid amat senang
Sehingga dipertuhankan
Tak ingat yang sungguh-sungguh Tuhan

Wragul 25

Lahir dan batin, dulu dan kemudian
Baik buruk, suka dan duka
Sudah nasib manusia, tiada bedanya
Takdir Allah yang Maha Agung
Siang malam sembah puji senantiasa
Jika rahmat tak datang juga
Jika belum mencapainya
Masih ragu adanya
Berterus teranglah dalam memperolehnya
Demikian burung tuhu berkata

Wragul 26

Sudah sebulan aku berdampingan
Namun dengan gagak belum tercapai kesepakatan
Sebab semua
Yang ia makan adalah kotoran
Jadi selalu kuhindari
Tak akan aku ikuti
Yang najis
Sungguh selama hidupku
Yang halal saja makananku
Yang diajak bicara menjawab begitu

Wragul 27

Tahu semua pengetahuan
Namun tak mengerti sastra agama
Dari mana asalnya
Yang meskipun seolah telah merasuk dihati
Tak mungkin ditolak di dunia ini
Burung tuhu berujar :
Walau manis tutur katanya
Sebenarnya takhyul yang dibeberkan
Sang berang berkata : Pernah kudengar
Bahwa dalang tak pernah ditanya

Wragul 28

Pemburu tak henti berkelana
Ibarat burung bangau bertapa di rawa
Tiada lain niatnya
Kecuali mencari ikan di air
Dimakannya siang malam
Seperti bangau botak
Seperti kambing prucul
Maka orang yang menjalani laku
Jangan cepat melangkah dulu
Bertanyalah kepada yang tahu

Wragul 29

Haruslah lahir batin kalau memuji
Yang diucapkan musti dimengerti
Yang dilihat hendaknya dipahami
Juga segala yang didengar
Betapa sukar orang memuji
Maka sebaiknya carilah guru
Yakni orang yang lebih tahu
Yakni ahli ibadah
Dan memujilah hingga merasuki hati
Begitulah orang melakukan sembah puji

Wragul 30

Kalau tak tahu apa yang disembah
Hilanglah apa yang disembah
Karena sesungguhnya tak ada tirai itu
Tataplah gunung
Dan bunga dalam kesepian
Ikan tanpa mata
Wahyu sejati
Pandanglah Arjuna
Kalau bertapa tak tergoda
Oleh apa saja

Wragul 31

Ada tiga macam pepuji
Pertama melihat yang disembah
Kedua melihat rupanya
Ketiga tak melihat
Kepada sesuatu, namun
Menghadap yang disembah
Ibarat mencari
Dalang topeng yang sedang melakukan pertunjukan
Tak beda segala yang dimiliki
Berpadu satu ragawi ruhani

Wragul 32

Kalau tak begitu kafir jadinya
Yang namanya gajah, gerangan mana ia
Sejauh-jauh usiaku
Belum mengerti hal itu
Ibarat menyatukan perjalanan gajah
Dengan petualangan burung garuda
Ibarat menyatukan punggung dengan dada
Atau wayang dengan kelirnya
Tapi sesungguhnya cermin satu adanya

Wragul 33

Itu jelas sama
Yang dicari sedang tak ada
Tapi burung tuhu sedang memahaminya
Ibarat malam yang dibakar
Tak ada yang dipikirkan
Ajaran dari berang-berang
Biasanya sudah diajarkan
Jiwa yang hidup dan yang mati itu satu
Ingat bahwa engkau dikuasai Tuhanmu

Wragul 34

Seperti halnya tinta
Masih menyatu dengan tempatnya
Jangan menghindar meski mati bayarannya
Kalau hidup, hiduplah seperlunya
Selalu perhatikan guru
Jangan seperti orang bermimpi
Atau seperti burung yang disuruh berbicara
Mengikuti kata-kata
Dijadikan panutan pikirannya
Berang-berang bersiap-siap menyingkir
Burung tuhu terbang ke dahan

Wragul 35

Ketika kemudian matahari terbenam
Terdengar suara pertunjukan wayang
Tampaknya di istana
Tergetar tabirnya
Di depan kelir berada semua wayangnya
Burung tuhu tampak
Ki dalang terlihat
Yang terlihat gawang-gawangnya
Wayangnya tiada, hanya dalangnya
Padahal tabir penglihatan tidaklah ada

Wragul 36

Dalang dapat bertukar rupa
Banyak orang jatuh cinta
Menyaksikan tingkah wayangnya
Terlihat segala tingkah lakunya
Semua saling jatuh cinta
Betapa mendalam keinginan
Menatap sang dalang
Namun dicari tak ketemu
Meskipun dengan susah dan rindu

Wragul 37

Lebih-lebih jika kurenungkan ini
Dengan teliti
Betul-betul ingin bekerja
Terlalu penuh perhitungan akhirnya
Atas kekayaan orang-orang kaya
Maka kalau tak paham
Jangan ikut-ikutan
Sampai kapan demikian
Sesungguhnya engkau disuruh mencari kembali
Raga yang tersembunyi

Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopot.

Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.

“Ampun .......... hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.

“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”

“Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi .......... “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.

“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.

“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”

“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”

“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.

“Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”

Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.

“Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan
Bonang.” kata sang Brahmana.

Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang ?” tanya lelaki itu.

“Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan, kata sang Brahmana.” Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.”

Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.

“Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut ?” Tanya lelaki itu.

Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.

“Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini ?” tanya sang Brahmana.

“Tuan berada di pantai Tuban !” jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.

Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban selain Sunan Bonang. Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.

Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang.

Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk dimakamkan di samping Sunan Ampel yaitu ayahandanya. Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.